Labyrinthe de Bougies

Small candles will always illuminate your way in this labyrinth…

Penantian: A Short Story


Ingatan hari itu masih terpatri jelas pada memoriku. Hari Indra meninggalkan rumah. Katanya sih buat cari kerja. Dan ia berjanji pula hendak mengirimiku uang tiap bulan. Namun hari dan bulan berlalu tanpa kabar berita, tanpa sepucuk surat maupun sepeser rupiah hasil keringatnya.

Malam-malam kulewati di tengah kekhawatiran. Kapan Indra pulang? Kenapa ia tidak mengabariku? Anak perempuan kami yang masih bayi menetek pada dadaku yang kian lama kian kempis karena uang dalam kantong juga kian menipis. Tak lama, susuku mengering. Dan anak malang itu, kekurangan asupan nutrisi, akhirnya mati layu seperti mawar yang tak sempat berkembang.

Semenjak itulah, aku tidak lagi menunggu di dalam rumah tiap malam. Aku akan keluar rumah, duduk di trotoar keras beratap langit berkipas embus angin malam. Lama-kelamaan, aku tak pernah lagi kembali ke rumah. Aku terus duduk di trotoar itu, sebuah mangkuk plastik kotor di depanku, di mana orang-orang melempar koin dan uang kertas seribuan sebagai tanda belas kasihan.

Aku lupa berapa lama aku ada di sana. Aku lupa berapa lama aku tidak mandi. Aku hanya ingat dua hal: tatap nanar anakku saat ia menjelang ajal, dan wajah Indra saat ia memeluk dan mengecupku terakhir kali.

* * *

Seseorang mendekat. Indra?

Aku menyibak rambutku yang acak-acakan dan kasar bak ijuk. Bau apak memasuki hidungku.

Tidak, bukan… seorang anak perempuan berusia sekitar tiga tahun. Ia berjalan di tengah udara malam yang menusuk tulang sembari bersenandung pelan. Aku memicingkan mata dan mempertajam pendengaranku untuk  mendengar apa yang ia senandungkan.

“Mama… Mama….”

Aku mengangkat kepala. Anak perempuan itu tengah menatapku lurus-lurus dengan wajah innocent-nya yang, tak tahu kenapa, mendirikan bulu romaku.

Ah, aku tahu kenapa.

Karena pada sepasang mata itu kulihat mata anakku, pada hidung dan mulutnya kulihat hidung dan mulut anakku… anakku yang sudah mati!

“Mama… Mama… ikut aku….”

Aku pasti sudah gila. Aku memalingkan wajah, berpura-pura diriku tidak melihat anak itu.

“Mama….” Tangan kecilnya dijulurkan ke arahku. Aku terpekik dan bangkit berlari. Aneh, biasanya tiap malam ada banyak orang lewat di jalan ini. Mengapa hari ini begitu sepi? Hanya ada kami berdua, aku dan anak itu…. Aku berlari dan berlari….

Sampai akhirnya aku menabrak seseorang dengan bunyi “bruk” keras.

Perlahan, aku memberanikan diri mendongak. Seorang lelaki… seorang….

“Indra!” aku mengenalinya seketika, dan spontan melemparkan tanganku ke bahunya, memeluknya erat. Namun lelaki itu hanya membisu.

“Indra…?” Aku menatap matanya. Mata itu berlingkar hitam dan sedih nanar.

“Kenapa kau tidak mau ikut kami, Asih?” ia bertanya.

Aku mundur spontan. Ia tidak sendirian… tangannya menggandeng anak perempuan itu! “Setelah tiga tahun penantian ini… kenapa kau tidak mau ikut aku dan anakmu, Asih?” ia mengulang.

Aku menggeleng-geleng keras. Tidak… ini mimpi! Ini mimpi! Aku akan berlari kembali ke trotoarku, dan saat itu aku pasti akan terbangun dari mimpi buruk ini!

Kuayunkan kakiku secepat yang aku bisa. Ah, itu dia trotoarku! Aku bisa melihat mangkuk plastik merah kotor itu…. Namun seseorang telah duduk di sana, di tempatku….

Aku terenyak… mengamati rambutnya yang acak-acakan dan kasar bak ijuk, tubuhnya yang kotor dan bau apak, pakaiannya yang rombeng, matanya yang terpejam, dadanya yang kering dan tak lagi turun-naik karena menarik napas… duduk tenang tak bergeming di sana, tak ubahnya patung lilin.

Kutolehkan wajahku ke belakang, dan kulihat kini mereka juga sedang menantiku dengan kedua tangan terbuka, seolah mengundang. Suamiku dan anakku….

Dan setetes air mata jatuh di pipiku dan kusibak rambutku. Pipi yang tak lagi kotor oleh debu jalan dan rambut yang tak lagi kasar bak ijuk….

Guangzhou, 14 Mei 2011

Tinggalkan komentar »

Phoenix: A Short Story


Hari Pertama: Pulang

Semburat putih. Membentuk wujud-wujud manusia tak berwajah. Aku berusaha memfokuskan pupilku. Percuma. Citraan yang timbul bagaikan kaca disapu embun pagi. Atau lukisan pointilis karya amatiran. Bagaimana mungkin mataku bisa tanpa angin tanpa hujan menderita presbiopi berat seperti ini? Lantas semburat warna-warna lain muncul dalam kaleidoskop memoriku, warna merah dan hitam mendominasi di sana. Merah darah, hitam gelap.

Oke. Aku mulai ingat. Sebuah sepeda. Sebuah motor. Sebuah mobil. Seorang penyeberang jalan yang melamun tak melihat kiri-kanan—itu aku. Aku tidak terlalu ingat mana yang menabrakku. Sepeda? Motor? Mobil? Sepeda, coret. Mungkin motor atau mobil, kalau tidak aku tak akan pingsan dan dirawat inap begini. Barangkali presbiopi dadakan ini juga timbul karena kecelakaan itu? Bisa jadi. Siapa tahu saraf mataku putus sebagian akibat muka dan kepala yang cipokan dengan aspal.

“Dia sadar!” kudengar seruan kaget seorang wanita. Suster, mungkin. Mataku tak bisa diandalkan.

Dalam hitungan detik, beberapa sosok sekaligus menghambur masuk ke ruangan.

“Apa?!”

“Yang benar?”

“Mukjizat….”

Kenapa mereka semua lebay begitu, ya? Memangnya berapa lama sih aku tak sadarkan diri? Pakai dibilang mukjizat segala….

Aku berusaha membuka mulut untuk memberitahu mereka, tak perlu lebay seperti itu, karena aku masih hidup dan baik-baik saja, sekalipun, yah, tambah bonus presbiopi. Namun, alat bantu pernapasan menghalangi suaraku. Ya Tuhan, aku baru sadar di sekelilingku banyak sekali selang menyambung. Gila. Sebenarnya separah apa si kondisiku? Dan berapa lama aku dalam kondisi seperti ini?

Rupanya otakku tak boleh terlalu banyak digunakan. Sel-selnya yang kelabu itu langsung membunyikan alarm, memakiku karena membuat lelah diri sendiri di tengah kondisi badan baru pulih seperti sekarang, dan segera memberi komando pada tubuhku untuk pingsan (lagi). Aku menutup mata, pasrah pada komandonya yang seabsolut perintah Hitler, Soeharto, dan Musolini.

Sebelum kesadaranku hilang, masih sempat kudengar teriak seorang perawat, “Dok, pasien di kamar 413 kritis….”

Lalu hitam yang familier turun lagi.

* * *

“Yunik… Yunik…?”

Siapa yang memanggilku dengan nama itu? Hanya suamiku Alan yang memanggilku Yunik, “coz you’re so unique in my heart, Yunik….” Orang lain mengenalku sebagai Phoenix, atau yang agak kampung, Venik (salahkan orang tuaku, kenapa memberiku nama yang bahkan dieja pun susah)…. Walau demikian, ada yang berbeda pada suara itu… tapi sekali lagi, bagaimana dia tahu nama Yunik?

Aku membuka mata perlahan-lahan. Silau, kali ini. Aku menyipitkan mata. Sosok-sosok tak berwajah lagi.

Sosok yang berdiri paling dekat denganku merundukkan kepala. Aku nyaris bisa mendengar bunyi napasnya yang tersengal. “Yunik… kau… sudah bangun….”

Itu bukan suara Alan. Bukan. Apa aku yang salah ingat? Atau… mungkinkah waktu sudah berlalu begitu lama, sampai-sampai suara Alan pun perlahan berubah seiring aliran waktu?

“A… Alan??” aku mencoba memastikan.

“I… iya, Sayang. Ini aku, Alan…,” suaranya bergetar kala mengatakan itu.

“Sudah… berapa lama?”

“Mmmm…,” ia menggumam, lantas terdiam. Lama.

Aku menarik napas. “Tanggal berapa sekarang, Alan?”

“Mmm… 31 Agustus,” ia menjawab setelah ragu beberapa saat.

Aku menghitung dalam hati. Bulan berapa waktu itu? Ah, ya… hari Valentine… 14 Februari…  sekitar enam setengah bulan. Lumayan lama juga.

“Alan… makasih sudah menungguku,” aku berkata. “Aku ingin pulang… pulang dan melihat Daniel kecil kita….”

“Iya, Sayang. Segera sesudah Dokter mengizinkan.”

Aku mengangguk. Kendati tak dapat kulihat jelas wajah Alan, imajinasiku membayangkan ada senyum cerah tergantung di bibirnya.

Di luar jendela, kudengar kicau burung menyambut pagi. Merdu.

Di dalam sini, di dalamku, kudengar nyanyi yang lebih merdu.

* * *

Ternyata memang ada yang beda. Sikapnya yang lebih diam, datar, dingin…. Satu-satunya tanda pengenal yang masih ada padanya tinggal nama itu, Yunik. Terlebih lagi, setiba di rumah, aku tak mendapati tanda-tanda keberadaan Daniel. Sebagai gantinya, seorang perempuan muda membukakan pintu.

“Siapa…?” aku berpaling menatap lekat Alan yang memandu jalanku. Serong…?

“Oh, ini Tia, dia yang akan merawat… kamu nanti….” Lagi-lagi ada keraguan yang tak natural dalam suaranya. Aku menangkap sinyal-sinyal dusta di sana. Bisa jadi, kan, perek muda yang menyaru jadi perawat pribadiku ini sebetulnya selingkuhannya Alan. Ia kira aku tak bakal pernah sadar lagi, lalu…. Aku tak sanggup memikirkan lanjutannya.

Di sampingku, Alan meremas pelan bahuku, seolah hendak menenangkan dan meyakinkanku. “Ayo, kita masuk,” katanya sembari mendesah.

“Mari saya bantu, Bu,” Tia mengulurkan tangan dan menggandeng tanganku. Ingin rasanya kutepis tangan kotornya itu, tapi bagaimanapun juga aku tak punya bukti ia dan Alan berselingkuh… mempertontonkan amarah di depan hidung Alan sepertinya bukan ide bagus… kami baru saja bersama-sama lagi. Maka kubiarkan lonte murahan itu menuntunku.

“Mana Daniel?” aku bertanya, sedikit menuntut.

“Daniel… Daniel menginap di rumah… rumah omanya,” Alan gelagapan menyahut. Edan, sejak kapan dia kena penyakit gagap akut begitu?

Rumah ini juga… berubah. Memang penglihatanku lamur, tetapi aku yakin seratus persen dulu warna cat rumah ini adalah putih polos. Sekarang entah bagaimana berubah menjadi pink agak norak. Apa dicat ulang selama aku koma? Interior juga. Sofa kesayanganku sudah tidak di tempat. Posisi perabot juga berubah signifikan.

Untungnya, saat Alan mengajakku masuk kamar tidur, ranjang pengantin itu masih di sana, tegak seperti baru.

Namun, tatkala aku merebahkan diri di atasnya, ia malah menjauh menuju pintu.

“ Kau mau ke mana?”

“Aku malam ini ada urusan. Tidak tidur di sini,” ia menjawab, agak kelewat cepat untuk ukuran penderita gagap akut.

“Aku baru pulang dari rumah sakit hari ini, dan kau tidak tidur di sini?” Tuhan, jangan sampai semua kecurigaanku itu benar… jangan sampai…. Aku memandangnya dengan tatap drakula terbaikku, berusaha mengkomunikasikan padanya bahwa bila dia meninggalkanku malam ini, aku akan menggigitnya dan menghirup habis darahnya layaknya minum sirup stroberi.

Ia menghindari kontak mata denganku. Pertanda buruk. “Aku… aku benar-benar harus pergi sekarang….” Ia buru-buru memutar gagang pintu dan menghilang di baliknya.

Aku membenamkan kepalaku di bawah bantal. Untuk pertama kalinya, aku berharap aku sedang bermimpi, dan pada saat aku membuka mata, aku kembali ke ruang intensif rumah sakit itu. Lebih kupilih aroma obat rumah sakit, ketimbang aroma rumah ini, aroma tubuh Alan, yang telah berubah gelap dingin, ibarat sudut berdebu bertikus sel penjara.

* * *

Hari Kedua: Lengang

Aku pasti ketiduran. Hal yang biasa terjadi saat kau meratapi nasib sembari memeluk guling dan berbungkus selimut. Aku dibangunkan oleh kicau riang burung gereja yang numpang bertengger di dahan pohon mangga samping rumahku. Kicau yang hari ini seakan mengandung ironi, bahkan ejekan.

“Alan…,” aku memanggil dengan suaraku yang parau. “Alan….”

Seseorang membuka pintu. Alan?

Bukan. Melainkan si perek. “Mmm… Ibu, kalau ada perlu apa-apa panggil saya saja. Bapak sedang tidak di tempat.”

Oh, jadi Alan tidak pergi dengan sundal satu ini, toh? “Pergi ke mana?” tanyaku.

“Nggg… kata Bapak sih urusan kantor gitu, Bu. Penting, katanya.”

Cih, kantor? Mana pernah Alan lembur sampai pagi sebelumnya? Paling banter juga sampai jam dua belas malam.

“Ya sudah, kamu boleh pergi,” kataku pada Tia. Yah, mungkin pereknya bukan cewek satu ini.

Ia mengangguk dan menutup pintu perlahan. Hanya lenganglah yang tersisa dalam kamar ini. Kicauan burung juga sudah berhenti. Sebagai gantinya, hujan turun merintik.

Aku menunggu.

* * *

Di luar rumah, tik-tik ritmik hujan.

Di dalam rumah, ding-dong dentang jam.

Di dalam hatiku, dag-dig-dug berdegup.

Lepas dari itu, lengang.

Di ruang tamu, aku menunggu. Lama sekali.

* * *

Hari Ketiga: Bayang

Berkas-berkas sinar matahari menyilaukan mataku yang terpejam, membuatku terbangun. Bagus, sudah hari ketiga dan suami serta anakku tidak kunjung pulang. Oke, Alan mungkin sudah selingkuh dengan cewek lain, terserahlah, apa lagi yang bisa kuperbuat selain minta cerai? Tapi Tuhan, jangan sampai ia membawa pergi anakku….

Seolah doaku langsung beroleh jawab, pintu depan menjeblak terbuka, dan sosok seorang pria masuk. Alan pulang! Ya Tuhan, dia pulang! Namun aku tidak melihat Daniel.

“Ke mana saja kau selama ini? Mana Daniel? Kenapa dia sampai sekarang belum pulang?”

Alan tidak menjawab. Senyap beberapa saat tanpa ada yang memecahnya. Akhirnya ia membuka suara. Suaranya berat dan dipenuhi beban, namun gagap akutnya lenyap sudah. Nada bicaranya tenang dan tegas. “Aku pergi menghadiri pemakaman.”

“Pemakaman? Bukannya urusan kantor? Pemakaman siapa? Kenapa tidak memberitahuku dari awal?” semburku marah.

Ia diam lagi. Lantas dengan kepala dingin ia berkata, “Aku membawakan kacamata, dan cermin….”

“Apa hubungannya kacamata dan cermin dengan…. Kau belum menjawab pertanyaanku! Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Alan?” aku menyahut sengit. “Jawab aku, Alan! Pergi ke mana kau selama ini, dan mana anak kita?!”

Ia bergeming tak ubahnya patung es. “Aku tak bisa mengatakannya… kau harus melihat sendiri…. Tapi kumohon, apapun yang kaulihat ini… apapun… kau harus siap, dan terimalah, terimalah dengan hati lapang….” Ada isakan tersembunyi di balik kata-kata itu. Giliran aku yang membisu. Apa yang bakal kulihat?

“Berikan aku kacamata itu,” pintaku. “ Aku siap.”

Sebuah benda yang membentuk citraan kacamata diulurkan kepadaku. Aku memakainya, kemudian mengangkat kepala memandang Alan.

Tidak, lelaki di hadapanku bukan….

“Kau… kau bukan Alan,” desisku. Aku berusaha mencari kata-kata, namun otakku tak mau bekerja sama. “Kau… menipuku,” akhirnya hanya dua kata itu yang terucap oleh bibirku. Anehnya… anehnya wajah pria ini, meski bukan Alan, ia familier… aku merasa aku kenal wajah itu, aku pernah melihat wajah itu… terkubur di suatu tempat dalam laci memoriku… tapi siapa? Wajah oval telur itu… mata hitam sipit itu… bibir yang bagian atasnya lebih tebal itu… siapa…?

Ia tak mengucap sepatah kata, hanya memberikan sebuah cermin saku padaku. Aku menatapnya penuh tanda tanya.

“Seluruh kebenarannya ada di sana,” bisik si pria-asing-namun-familier.

Awalnya sedikit ragu, aku akhirnya membuka cermin itu, menatap bayang wajah di dalamnya.

“Maafkan aku,” gumam si lelaki seraya mengusap matanya yang berair. Tetapi aku hampir tidak mendengarnya… segala bunyi, segala warna, seolah layu dan luluh dari duniaku, kecuali wajah itu… wajah di cermin itu… wajahku….

Tidak mungkin… tidak mungkin… tidak mungkin!

* * *

Kisah Daniel

Sungguh tepatlah ibuku dinamai Phoenix, sebab seperti burung Phoenix bangkit dari abunya dan hidup kembali dalam rantai imortalitasnya, ia pun bangkit dari tidur panjangnya. Tidur yang sangat panjang….

Apa enam setengah bulan bagimu panjang? Ah, ya, ibuku tanggal 14 Februari mengalami kecelakaan dan koma karenanya, dan ia memang “bangkit” pada tanggal 31 Agustus. Enam setengah bulan, kan? Ya, itu yang dia tahu. Tak ada yang memberitahunya bahwa sekarang tahun 2010, bukan 1985….

Kata dokter, “kebangkitan” ibuku setelah koma dua puluh lima tahun itu merupakan mukjizat. Hmm… mukjizat. Mungkin definisi mukjizat menurut aku dan si dokter agak berbeda.

Ya, tak dapat dipungkiri, “kebangkitan” ibuku memang ajaib. Namun, menurutku, masih ada yang lebih ajaib daripada ini, itu ialah penantian. Penantian dua puluh lima tahun. Ya, selama itulah Papa menunggu Mama sadar dari koma, tak peduli apapun yang dikatakan dokter. Kendati aku sama sekali tak keberatan Papa menikah lagi, beliau tetap memilih penantian sebagai jalannya. Itu baru mukjizat. Mukjizat asa. Mukjizat kasih. Penantian Papa pada akhirnya membuahkan sebuah mukjizat lain, mukjizat yang tampak lebih ajaib, namun sesungguhnya hanyalah hasil, bukan proses: “kebangkitan” Mama. Sebab jikalau Papa menyerah dan peralatan medis yang menunjang Mama dicabut, mungkinkah bisa ada hari ini bagi Mama?

Sayang, Papa tak dapat melihat hari itu, mukjizat itu. Beberapa tahun silam beliau mulai menderita kanker otak. Saat Mama tersadar, ia tengah meregang nyawa di kamar nomor 413.

Aku selalu merasa kematian Papa ada hubungannya dengan “bangkit”-nya Mama. Jika tidak, bagaimana mungkin bisa pada hari yang sama…?

Hari itu merupakan hari paling sibuk, paling gila dalam hidupku. Di saat aku harus menyiapkan pemakaman bagi ayahku, aku juga harus menemani ibuku pulang dan mencari cara untuk membeberkan seluruh kebenaran padanya. Tidak bisa serta-merta diberitahukan, tentu. Dokter sudah memperingatkanku akan risiko serangan jantung dan bla bla bla lainnya pada kondisinya yang renta dan rapuh. Untunglah mata Mama lamur, sehingga aku bisa untuk sementara berpura-pura menjadi ayahku. Tentu, pada akhirnya aku tetap harus memberitahunya segalanya. Tidak mungkin selamanya aku main sandiwara. Dan kuputuskan waktunya adalah sekarang, usai pemakaman ayahku.

Ya, aku memberinya kacamata. Dan cermin. Supaya dia bisa melihat wajah rentanya yang berkeriput terpantul pada bening kacanya. Sebab aku tak sanggup mengatakan kebenaran itu padanya. Terlalu berat… terlalu sakit… namun aku percaya, kebenaran jauh lebih mudah diterima dan diikhlaskan daripada kebohongan. Walau pedih, walau itu berarti kehilangan semua yang dulu pernah menjadi milikmu….

Kau tanya padaku, tidakkah aku takut ibuku kena serangan jantung dan game over sehabis menyadari semuanya itu? Kujawab ya, sebagian diriku takut. Karena ia ibuku, dan aku tahu, dia menyayangiku, mencemaskanku ketika dikiranya aku tak ada… ya, aku takut Mama pergi seperti Papa. Tetapi di sebagian diriku selalu ada keyakinan bahwa kalaupun Mama pergi, bisa jadi itu adalah sebuah happy ending. Karena akhirnya sepasang Phoenix itu akan bersatu… Phoenix yang tak terpisah bahkan oleh maut, coz they’re so unique in one another’s heart….

N.B.  Terima kasih kepada Bapak B.J.S.; “mukjizat besar” kisah ini adalah milikmu dan penantianmu.

Guangzhou, 11 Februari 2011

Tinggalkan komentar »